1 Oscar winning, 2 nominations. (ngarep.)
The Story of Us
Malam itu, Emma sedang bersiap –
siap untuk tidur ketika Neneknya berseru memanggil namanya dari ruang duduk.
Emma yang sedang mengancingkan piamanya berlari turun tangga. Dia heran, baru
kali ini Nenek memanggilnya ketika sudah larut malam. Emma datang dengan napas
ter engah – engah.
“Ada apa, Nek? Nenek sakit? Kepala
Nenek pusing lagi?” Tanya Emma panik. Neneknya memang sakit sejak sebulan lalu,
maka itu Emma dan orangtuanya merawat Nenek dirumah mereka. Nenek tertawa.
“Tidak, sayang. Duduklah disini.
Nenek mau cerita sesuatu padamu.” Kata Nenek sambil menepuk – nepuk kursi yang
berada di sebelahnya. Emma duduk disitu dengan heran.
“Nenek, aku sudah 11 tahun..” Kata
Emma heran.
“Ya, Nenek tahu. Tapi ini bukan
cerita pengantar tidur.” Ujar Nenek. Di matanya yang sayu ada cahaya yang belum
pernah dilihat Emma. Maka dia putuskan untuk mendengarkan dulu.
“Kau tahu berapa umur Nenek, Emma?”
Emma berpikir.
“Umm.. 71 tahun, Nek?”
“Tepatnya 72,” Kata Nenek sambil
menjentikkan jarinya. Emma membelalak, tapi dia diam saja. “Dulu Nenek punya
sahabat. Persis seperti kau dan Jolly.”
“Jolly..? Nenek kenal dengan Jolly?”
Tanya Emma heran. Jolly adalah sahabat Emma.
“Oh tentu. Dengarkan dulu,” Emma
diam sambil serius mendengarkan. “Kau mau mendengarnya?” Emma mengangguk.
“Jadi, bertepat pada tahun 1952,
Nenek baru saja berumur 10 tahun. Hari itu hari pertama nenek diajar guru baru
dalam pelajaran olahraga. Guru itu begitu ramah dan pintar. Dia mengajak kami
berlari – lari di sekitar lingkungan sekolahku. Waktu itu, teman – temanku yang
bernama Mary, Lilly dan Anne ikut berlari disebelahku. Kami tidak terbiasa
berlari – larian, maka kami selalu berseru pada sesama untuk menunggu. Kamipun
bersahabat sejak itu. Entah keluar dari mulut siapa, kami menamai persahabatan
kami dengan Setia Kawan.” Emma tertawa seru.
“Mirip seperti kejadian aku dan
Jolly!” Serunya. Nenek tertawa lagi.
“Itu benar, tapi Em. Kau dan Jolly
belum pernah bertengkar hebat kan?” Tanya Nenek. Emma memiringkan kepalanya.
“Belum, Nek.” Jawabnya. Nenek
menggelengkan kepalanya.
“Itulah yang terjadi padaku. Pada
kami. Setahun kemudian, kami naik kelas ke kelas 5 sekolah dasar. Sayangnya,
Mary terpisah dari Anne, Lilly dan aku. Yah, dalam kata lain kami tidak
sekelas. Persahabatan kami mulai regang saat itu. Tapi kami masih mengusahakan
untuk menginap dirumahku. Aku tidak bisa melupakan saat pertama kami mengadakan
acara menginap. Nenekku, tepat saat tengah malam, menelpon rumah kami. Dia
bilang dia baru saja terjatuh di lantai kamar mandi dan melukai dirinya
sendiri. Yah... memang sedih saat itu. Orangtuaku berangkat kerumah Nenek dan
kami menunggu dengan tegang. Memang sayang dia terjatuh saat itu. Teman –
temanku berkenalan dengan Nenek setelah dia datang. Beberapa bulan setelah kejadian
itu, Nenekku meninggal.” Nenek menghela napas sedih. Emma mengelus tangannya.
“Aku minta maaf, Nek...” Katanya.
Nenek menggengam tangan Emma.
“Tahukah kau, Emma? Saat itu kami
memang bodoh. Salah satu teman kami, yang bernama Lea baru saja kehilangan
sahabatnya. Aku sendiri yang mengusulkan ini. Kami mengajak Lea masuk ke Setia
Kawan. Lea bahagia memang, tapi kami justru tidak bahagia. Kami baru sadar Lea
bersifat egois, kasar, dan kurang sopan. Kami sering ditampar olehnya. Kami
berusaha memaklumi bahwa dia hanya bermain, tapi Mary yang gampang kesal, marah
dengannya dan keluar dari Setia Kawan. Kami para anggota lama hanya bisa sedih
dan sabar. Lalu, sikap dan sifat Anne
mulai menyebalkan. Aku lupa apa yang terjadi selanjutnya. Maklumi aku Emma, aku
sudah tua. Oh, aku ingat setelah itu. Lea dan Anne akhirnya keluar dari Setia
Kawan. Kau tahu, betapa bodohnya aku melepaskan Anne yang sudah menjadi
sahabatku sejak kami masih kecil.” Emma mengangguk – angguk.
“Aku dan Jolly juga sudah bersahabat
sejak kami masih kecil.” Katanya. Nenek menggelengkan kepalanya perlahan.
“Persahabatanmu dan Jolly sungguh
manis. Jangan biarkan Jolly pergi.” Tanpa Emma sadari, mata Nenek digenangi air
mata kesedihan. “Jadi, Mary, Lilly dan aku memulai persahabatan baru yang kami
beri nama Teman Setia Selamanya atau yang biasa kami singkat menjadi TSS. TSS berjalan dengan mulus hingga acara
menginap pertama kami. Aku dan Lilly sadar sikap dan sifat Mary juga berubah
menjadi menjengkelkan. Kami berniat berbohong padanya untuk membatalkan acara
menginap kami lalu kami berdua bisa menginap berdua saja dan membangun
persahabatan berdua saja. Sayangnya karena Ibuku telah berbicara dengannya di
telepon bahwa acara itu akan dilaksanankan maka kami terpaksa melaksanakannya.
Kami membicarakan sikap Anne dan Lea yang tidak kami senangi saat itu. Kami
tidak menyadari sikap kami salah saat itu. Kau tahu kata pengkhianat, kan, Em?
Tentu saja. Apakah kau sudah pernah dikhianati? Belum.. baguslah. Nenek pernah
sekali, dan aku tidak pernah mimpi yang melakukan itu adalah MARY.” Nenek
berhenti untuk mengmbil napas. Emma menunggu dengan bersemangat. “Entah dengan
alasan apa, kami bertiga bertengkar sangat hebat. Dan... dan...”
“Nenek, apakah Nenek menangis?”
Tanya Emma khawatir. Nenek cepat – cepat menghapus air matanya yang hampir
meleleh.
“Tidak.. tidak... tapi dengarkan,
Mary membocorkan semuanya pada Lea dan Anne.. dan.. kau tidak perlu menganga
begitu, Emma. Keluarkan saja komentarmu.”
“DIA MELAKUKANNYA?!” Pekik Emma
kaget.
“Yah.. begitu. Tapi yang lebih
parah, Anne yang seorang editor Majalah Dinding sekolah kami menempelkan kertas
berisi kata - kata yang sudah jelas ditujukan pada kami. Aku ingat persis awal
surat itu berbunyi ‘Hei kalian! Memangnya kalian siapa bisa menjelek – jelekkan
kami? SK (begitu sebutan untuk Setia Kawan) hidup dengan ada kami....’ setelah
itu aku tidak ingat. Mungkin lebih mengerikan lagi. Saat itu aku bertanya pada
Lea dan Anne, dan untungnya mereka menceritakan semuanya. Sebetulnya, Mary
melebih – lebihkan ceritanya. Dia bilang kami berdua mengatai mereka dengan
seru sementara dia diam saja. Tidak... dia telah berkhianat, menjilat dan
berbohong. Apa bisa lebih buruk? Kami memarahi Mary karena sikapnya yang tidak
terpuji dan kami memusuhinya untuk beberapa saat. Kami berdua meminta maaf pada
Lea dan Anne. Setelah lebih dari seminggu, Mary menulis cerita – cerita yang
berlebihan tentang persahabatan kami. Dia melebihkan semuanya. Apa yang
sebenarnya dia juga ikut, dia bilang bahwa dia hanya diam saja. DIAM saja? Aku
sungguh benci pada sikapnya saat itu. Tapi akhirnya kami berbaikan dan
segalanya kembali normal. Kecuali bahwa kami masing – masing tidak punya
sahabat.” Emma terbelalak lagi.
“Oh, kasihan kau Nenek...”
“Yah... Lea dan Lilly lalu mulai
bersahabat. Aku dan Anne sendiri mulai dekat lagi. Tapi.. hubungan kami menjadi
canggung karena semua masalah yang kami dapat itu. Sejak saat itu, aku takut
untuk berteman lagi karena aku takut persahabatan itu akan gagal lagi.. memang
aku dekat dengan Anne tapi, kami tidak bersahabat. Aku ingiiiiiin sekali kami
kembali seperti sedia kala. Sebelum Setia Kawan mewarnai hidup kami. Sebelum
semua masalah itu merajalela hingga aku tidak mempunyai sahabat... Nah, Emma..
seorang SAHABAT adalah hal terindah yang bisa kau miliki dalam hidup. Kau
memiliki teman untuk berbagi, pundak untuk menangis, teman untuk diajak main,
untuk diajak berbicara tentang anak laki – laki, aku tahu kau sering
membicarakan Frank dengan Jolly,” Mata Nenek mengedip nakal. Emma nyengir
sekaligus jengkel pada Nenek yang telah menguping pembicaraannya dengan
Jolly. “Untuk diajak tertawa... seperti
halnya dulu Nenek. Emma, Jolly adalah harta untukmu. Jangan jadi ceroboh
memilih teman seperti Nenek. Jangan pernah tinggalkan Jolly jika kau merasa dia
cocok menjadi sahabatmu. Jangan jauhi dia kalau sikapnya tidak berkenan di
hatimu. Katakan lah padanya dengan halus. Janji Emma?”
“Aku berjanji, Nek..” Emma memeluk
Neneknya. “Itu cerita yang sungguh bagus, Nek. Aku tak pernah tahu kau memiliki
kehidupan yang luar biasa. Kau menghadapi cobaan dengan sabar dan kuat.. aku
harus mencontohmu. Aku berjanji akan selalu ada disana untuk Jolly.” Kata Emma.
Nenek mengelus rambut kecoklatan Emma.
“Aku tahu, Em.. aku tahu.. Nah,
sekarang tidurlah kau!” Seru Nenek lucu. Emma tertawa sambil berlari menaiki
tangga.
“Selamat malam, Nek!” Teriaknya
sebelum dia memasuki kamarnya. Nenek menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Selamat malam, Em! Aku akan tahu
kalau kau ber BBM ria dengan Frank!” Teriak Nenek. Emma melompat kaget.
“Aku tidak akan!” Serunya. Tapi dia
melakukannya. Dia mengambil Blackberry nya karena ada PING!!! Dari laki – laki
yang sedang dia sukai (Yah... mereka saling menyukai.). Nenek menggelengkan
kepalanya lagi.
“Emma itu..” Kata – katanya terputus
karena telepon berdering dan dia mengangkatnya. “Wah... wah.. Marilyn Lacy,
Leigh Anne Tuohy, Lucy Lilly Collins, dan Hannah Lea Mitchelle. Kalian sedang
bersama? Kesini? Besok. Oh! Aku akan senang menerima kalian sebagai tamu,
cucuku ingin sekali bertemu kalian. Kalian tahu...” Nenek memelankan suaranya
karena takut Emma mendengarnya. Tapi Emma mendengarnya. Dia mendengar Nenek
berbicara dalam bahasa Inggris.
“I
just tell her the story of us..”