Selasa, 06 Agustus 2013

The Story of Us

1 Oscar winning, 2 nominations. (ngarep.)

The Story of Us
            Malam itu, Emma sedang bersiap – siap untuk tidur ketika Neneknya berseru memanggil namanya dari ruang duduk. Emma yang sedang mengancingkan piamanya berlari turun tangga. Dia heran, baru kali ini Nenek memanggilnya ketika sudah larut malam. Emma datang dengan napas ter engah – engah.
            “Ada apa, Nek? Nenek sakit? Kepala Nenek pusing lagi?” Tanya Emma panik. Neneknya memang sakit sejak sebulan lalu, maka itu Emma dan orangtuanya merawat Nenek dirumah mereka. Nenek tertawa.
            “Tidak, sayang. Duduklah disini. Nenek mau cerita sesuatu padamu.” Kata Nenek sambil menepuk – nepuk kursi yang berada di sebelahnya. Emma duduk disitu dengan heran.
            “Nenek, aku sudah 11 tahun..” Kata Emma heran.
            “Ya, Nenek tahu. Tapi ini bukan cerita pengantar tidur.” Ujar Nenek. Di matanya yang sayu ada cahaya yang belum pernah dilihat Emma. Maka dia putuskan untuk mendengarkan dulu.
            “Kau tahu berapa umur Nenek, Emma?” Emma berpikir.
            “Umm.. 71 tahun, Nek?”
            “Tepatnya 72,” Kata Nenek sambil menjentikkan jarinya. Emma membelalak, tapi dia diam saja. “Dulu Nenek punya sahabat. Persis seperti kau dan Jolly.”
            “Jolly..? Nenek kenal dengan Jolly?” Tanya Emma heran. Jolly adalah sahabat Emma.
            “Oh tentu. Dengarkan dulu,” Emma diam sambil serius mendengarkan. “Kau mau mendengarnya?” Emma mengangguk.
            “Jadi, bertepat pada tahun 1952, Nenek baru saja berumur 10 tahun. Hari itu hari pertama nenek diajar guru baru dalam pelajaran olahraga. Guru itu begitu ramah dan pintar. Dia mengajak kami berlari – lari di sekitar lingkungan sekolahku. Waktu itu, teman – temanku yang bernama Mary, Lilly dan Anne ikut berlari disebelahku. Kami tidak terbiasa berlari – larian, maka kami selalu berseru pada sesama untuk menunggu. Kamipun bersahabat sejak itu. Entah keluar dari mulut siapa, kami menamai persahabatan kami dengan Setia Kawan.” Emma tertawa seru.
            “Mirip seperti kejadian aku dan Jolly!” Serunya. Nenek tertawa lagi.
            “Itu benar, tapi Em. Kau dan Jolly belum pernah bertengkar hebat kan?” Tanya Nenek. Emma memiringkan kepalanya.
            “Belum, Nek.” Jawabnya. Nenek menggelengkan kepalanya.
            “Itulah yang terjadi padaku. Pada kami. Setahun kemudian, kami naik kelas ke kelas 5 sekolah dasar. Sayangnya, Mary terpisah dari Anne, Lilly dan aku. Yah, dalam kata lain kami tidak sekelas. Persahabatan kami mulai regang saat itu. Tapi kami masih mengusahakan untuk menginap dirumahku. Aku tidak bisa melupakan saat pertama kami mengadakan acara menginap. Nenekku, tepat saat tengah malam, menelpon rumah kami. Dia bilang dia baru saja terjatuh di lantai kamar mandi dan melukai dirinya sendiri. Yah... memang sedih saat itu. Orangtuaku berangkat kerumah Nenek dan kami menunggu dengan tegang. Memang sayang dia terjatuh saat itu. Teman – temanku berkenalan dengan Nenek setelah dia datang. Beberapa bulan setelah kejadian itu, Nenekku meninggal.” Nenek menghela napas sedih. Emma mengelus tangannya.
            “Aku minta maaf, Nek...” Katanya. Nenek menggengam tangan Emma.
            “Tahukah kau, Emma? Saat itu kami memang bodoh. Salah satu teman kami, yang bernama Lea baru saja kehilangan sahabatnya. Aku sendiri yang mengusulkan ini. Kami mengajak Lea masuk ke Setia Kawan. Lea bahagia memang, tapi kami justru tidak bahagia. Kami baru sadar Lea bersifat egois, kasar, dan kurang sopan. Kami sering ditampar olehnya. Kami berusaha memaklumi bahwa dia hanya bermain, tapi Mary yang gampang kesal, marah dengannya dan keluar dari Setia Kawan. Kami para anggota lama hanya bisa sedih dan sabar.  Lalu, sikap dan sifat Anne mulai menyebalkan. Aku lupa apa yang terjadi selanjutnya. Maklumi aku Emma, aku sudah tua. Oh, aku ingat setelah itu. Lea dan Anne akhirnya keluar dari Setia Kawan. Kau tahu, betapa bodohnya aku melepaskan Anne yang sudah menjadi sahabatku sejak kami masih kecil.” Emma mengangguk – angguk.
            “Aku dan Jolly juga sudah bersahabat sejak kami masih kecil.” Katanya. Nenek menggelengkan kepalanya perlahan.
            “Persahabatanmu dan Jolly sungguh manis. Jangan biarkan Jolly pergi.” Tanpa Emma sadari, mata Nenek digenangi air mata kesedihan. “Jadi, Mary, Lilly dan aku memulai persahabatan baru yang kami beri nama Teman Setia Selamanya atau yang biasa kami singkat menjadi TSS.  TSS berjalan dengan mulus hingga acara menginap pertama kami. Aku dan Lilly sadar sikap dan sifat Mary juga berubah menjadi menjengkelkan. Kami berniat berbohong padanya untuk membatalkan acara menginap kami lalu kami berdua bisa menginap berdua saja dan membangun persahabatan berdua saja. Sayangnya karena Ibuku telah berbicara dengannya di telepon bahwa acara itu akan dilaksanankan maka kami terpaksa melaksanakannya. Kami membicarakan sikap Anne dan Lea yang tidak kami senangi saat itu. Kami tidak menyadari sikap kami salah saat itu. Kau tahu kata pengkhianat, kan, Em? Tentu saja. Apakah kau sudah pernah dikhianati? Belum.. baguslah. Nenek pernah sekali, dan aku tidak pernah mimpi yang melakukan itu adalah MARY.” Nenek berhenti untuk mengmbil napas. Emma menunggu dengan bersemangat. “Entah dengan alasan apa, kami bertiga bertengkar sangat hebat. Dan... dan...”
            “Nenek, apakah Nenek menangis?” Tanya Emma khawatir. Nenek cepat – cepat menghapus air matanya yang hampir meleleh.
            “Tidak.. tidak... tapi dengarkan, Mary membocorkan semuanya pada Lea dan Anne.. dan.. kau tidak perlu menganga begitu, Emma. Keluarkan saja komentarmu.”
            “DIA MELAKUKANNYA?!” Pekik Emma kaget.
            “Yah.. begitu. Tapi yang lebih parah, Anne yang seorang editor Majalah Dinding sekolah kami menempelkan kertas berisi kata - kata yang sudah jelas ditujukan pada kami. Aku ingat persis awal surat itu berbunyi ‘Hei kalian! Memangnya kalian siapa bisa menjelek – jelekkan kami? SK (begitu sebutan untuk Setia Kawan) hidup dengan ada kami....’ setelah itu aku tidak ingat. Mungkin lebih mengerikan lagi. Saat itu aku bertanya pada Lea dan Anne, dan untungnya mereka menceritakan semuanya. Sebetulnya, Mary melebih – lebihkan ceritanya. Dia bilang kami berdua mengatai mereka dengan seru sementara dia diam saja. Tidak... dia telah berkhianat, menjilat dan berbohong. Apa bisa lebih buruk? Kami memarahi Mary karena sikapnya yang tidak terpuji dan kami memusuhinya untuk beberapa saat. Kami berdua meminta maaf pada Lea dan Anne. Setelah lebih dari seminggu, Mary menulis cerita – cerita yang berlebihan tentang persahabatan kami. Dia melebihkan semuanya. Apa yang sebenarnya dia juga ikut, dia bilang bahwa dia hanya diam saja. DIAM saja? Aku sungguh benci pada sikapnya saat itu. Tapi akhirnya kami berbaikan dan segalanya kembali normal. Kecuali bahwa kami masing – masing tidak punya sahabat.” Emma terbelalak lagi.
            “Oh, kasihan kau Nenek...”
            “Yah... Lea dan Lilly lalu mulai bersahabat. Aku dan Anne sendiri mulai dekat lagi. Tapi.. hubungan kami menjadi canggung karena semua masalah yang kami dapat itu. Sejak saat itu, aku takut untuk berteman lagi karena aku takut persahabatan itu akan gagal lagi.. memang aku dekat dengan Anne tapi, kami tidak bersahabat. Aku ingiiiiiin sekali kami kembali seperti sedia kala. Sebelum Setia Kawan mewarnai hidup kami. Sebelum semua masalah itu merajalela hingga aku tidak mempunyai sahabat... Nah, Emma.. seorang SAHABAT adalah hal terindah yang bisa kau miliki dalam hidup. Kau memiliki teman untuk berbagi, pundak untuk menangis, teman untuk diajak main, untuk diajak berbicara tentang anak laki – laki, aku tahu kau sering membicarakan Frank dengan Jolly,” Mata Nenek mengedip nakal. Emma nyengir sekaligus jengkel pada Nenek yang telah menguping pembicaraannya dengan Jolly.  “Untuk diajak tertawa... seperti halnya dulu Nenek. Emma, Jolly adalah harta untukmu. Jangan jadi ceroboh memilih teman seperti Nenek. Jangan pernah tinggalkan Jolly jika kau merasa dia cocok menjadi sahabatmu. Jangan jauhi dia kalau sikapnya tidak berkenan di hatimu. Katakan lah padanya dengan halus. Janji Emma?”
            “Aku berjanji, Nek..” Emma memeluk Neneknya. “Itu cerita yang sungguh bagus, Nek. Aku tak pernah tahu kau memiliki kehidupan yang luar biasa. Kau menghadapi cobaan dengan sabar dan kuat.. aku harus mencontohmu. Aku berjanji akan selalu ada disana untuk Jolly.” Kata Emma. Nenek mengelus rambut kecoklatan Emma.
            “Aku tahu, Em.. aku tahu.. Nah, sekarang tidurlah kau!” Seru Nenek lucu. Emma tertawa sambil berlari menaiki tangga.
            “Selamat malam, Nek!” Teriaknya sebelum dia memasuki kamarnya. Nenek menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
            “Selamat malam, Em! Aku akan tahu kalau kau ber BBM ria dengan Frank!” Teriak Nenek. Emma melompat kaget.
            “Aku tidak akan!” Serunya. Tapi dia melakukannya. Dia mengambil Blackberry nya karena ada PING!!! Dari laki – laki yang sedang dia sukai (Yah... mereka saling menyukai.). Nenek menggelengkan kepalanya lagi.
            “Emma itu..” Kata – katanya terputus karena telepon berdering dan dia mengangkatnya. “Wah... wah.. Marilyn Lacy, Leigh Anne Tuohy, Lucy Lilly Collins, dan Hannah Lea Mitchelle. Kalian sedang bersama? Kesini? Besok. Oh! Aku akan senang menerima kalian sebagai tamu, cucuku ingin sekali bertemu kalian. Kalian tahu...” Nenek memelankan suaranya karena takut Emma mendengarnya. Tapi Emma mendengarnya. Dia mendengar Nenek berbicara dalam bahasa Inggris.

            “I just tell her the story of us..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar